Pentingnya Batasan dalam Relasi Emosional Perempuan

 (Andria - Bandung 25.05.2025)


Perempuan sering kali digambarkan sebagai makhluk yang penuh cinta, empati, dan kelembutan. Mereka tumbuh dalam masyarakat yang memuji ketulusan, kesabaran, dan kemampuan untuk memaafkan. Namun, pertanyaannya seperti sampai sejauh mana nilai-nilai ini justru menjebak mereka dalam dinamika hubungan yang tidak sehat? Menjadi pertanyaan yang seringkali muncul.

Dalam banyak kasus, hubungan toxic tidak dimulai dengan kekerasan atau kata-kata kasar. Prilaku itu muncul dibungkus oleh perhatian, janji manis, dan sikap posesif yang awalnya terlihat romantis. Laki-laki yang tidak bertanggung jawab kerap memanfaatkan kecenderungan emosional perempuan bukan karena rasa cinta, melainkan karena tahu bahwa perasaan bisa menjadi alat kontrol yang efektif.

Ironisnya, banyak perempuan menyadari bahwa hubungan yang sedang mereka jalani menyakitkan. Mereka sadar bahwa pasangan mereka manipulatif, tidak jujur, atau bahkan abusif. Namun mereka tetap bertahan  karena rasa takut kesepian, ketergantungan emosional atau malu dicap gagal dalam sebuah hubungan.

Pertanyaan seperti, mengapa perasaan lebih dipercaya daripada logika? Mengapa cinta sering kali dijadikan alasan untuk terus bertahan, meski jelas menyiksa? Menjadi hal yang paling tidak masuk akal. Dalam konteksnya, penting untuk mengkritisi peran budaya dan norma sosial. Sejak kecil, banyak perempuan dididik untuk menyenangkan, mengalah, dan mengutamakan orang lain. Mereka tidak diberi ruang cukup untuk belajar mengatakan “tidak” dan memberi batasan, untuk marah atau bahkan untuk meninggalkan sesuatu yang menyakitkan. Akibatnya, ketika mereka berada dalam hubungan yang tidak sehat, mereka tidak tahu bagaimana cara melindungi diri sendiri.

Inilah pentingnya batasan dalam relasi. Bukan sebagai benteng yang menjauhkan, melainkan sebagai penanda sehat tentang siapa kita, apa yang kita butuhkan, atau bagaimana kita ingin diperlakukan. Menetapkan batasan adalah bentuk kesadaran diri dan penghormatan terhadap martabat pribadi. Tindakan itu bukan tindakan egois, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Namun menetapkan batasan bukan hal yang mudah. Dalam masyarakat yang masih patriarkal, perempuan yang berani berkata “tidak” sering dianggap keras kepala, dingin, atau tidak tahu diri. Padahal, justru keberanian untuk menetapkan batas itulah yang akan menyaring siapa yang benar-benar layak hadir dalam hidup seseorang. Tanpa batasan, hubungan hanya akan dipenuhi penyesalan dan luka.

Maka perlu ada perubahan paradigma. Perempuan harus didorong untuk tidak hanya mengenali perasaannya, tapi juga memvalidasi logika dan intuisi mereka terhadap hal-hal yang menekan. Mereka perlu didukung untuk percaya bahwa meninggalkan hubungan yang menyakiti bukan tanda kegagalan, tetapi keberhasilan dalam mencintai diri sendiri.

Hubungan yang sehat tidak dibangun dari rasa takut kehilangan atau kompromi tanpa batas. Ia dibangun dari rasa aman, saling hormat, dan keberanian untuk menjaga nilai-nilai diri. Menetapkan batasan bukan hanya soal melindungi hati, tapi juga soal menciptakan ruang bagi hadirnya orang-orang yang lebih bertanggung jawab dan berkualitas.

Perempuan tidak seharusnya terus menjadi korban dalam narasi cinta yang salah kaprah. Sudah saatnya mereka mengambil peran sebagai pemegang kendali atas hidup dan relasinya dengan kepala yang jernih, dan batasan yang tegas. Hal yang terbentuk dari kekuatan hati.

Komentar

Postingan Populer