Surat Dari Neraka





 Bandung 13102025

(Aku menulis ini, tidak untuk meragukan ketetapan Tuhan. Aku percaya semua mahluk di alam semesta tercipta tidak tanpa alasan.)


          Azazil dan Kesetiaan yang Disalahpahami

Kisah tentang kejatuhan Azazil selalu diceritakan sebagai kisah tentang kesombongan. Ia menolak sujud kepada Adam, dan karena itu diusir dari surga. Namun sedikit yang berhenti sejenak untuk mempertanyakan, apakah penolakannya benar-benar lahir dari kesombongan, atau justru dari kesetiaan yang melampaui pemahaman biasa?

Manusia cenderung melihat kisah itu dari sisi moral hitam-putih, taat berarti baik, menolak berarti jahat. Tapi Azazil hidup di ruang abu-abu yang lebih rumit, ruang di mana cinta, logika, dan ketaatan bertabrakan tanpa kompromi. Ia bukan menolak Tuhan, melainkan menolak untuk menyembah selain Tuhan. Ia memahami bahwa sujud adalah simbol penyerahan total, dan penyerahan semacam itu hanya pantas ditujukan kepada Yang Mutlak.

Dalam kerangka itu, kejatuhan Azazil bukanlah pembangkangan, melainkan paradoks kesetiaan. Ia gagal tunduk bukan karena kurang iman, tetapi karena imannya terlalu teguh untuk dibelokkan oleh perintah yang tidak ia pahami secara moral maupun spiritual. Ia bukan menentang Tuhan, melainkan menolak untuk menyalahi pengertiannya tentang keteguhan yang murni.

Tragedi Azazil menunjukkan bahwa bahkan kesetiaan pun bisa tampak seperti pemberontakan bila tidak sesuai dengan bentuk yang diharapkan. Surga adalah ruang di mana ketaatan berarti diam, bukan bertanya. Maka ketika Azazil mempertanyakan makna perintah sujud, ia melanggar tata tertib yang berlaku di sana. Ia diusir bukan karena ia berhenti menyembah, tapi karena ia mencoba memahami makna penyembahan itu sendiri.

Namun kejatuhan itu bukanlah akhir. Dalam firman-Nya, Tuhan tidak memusnahkan Azazil, tetapi menangguhkan hukumannya.“Sesungguhnya engkau termasuk yang diberi tangguh.” Di situlah makna tersembunyi muncul, bahkan dalam murka-Nya, Tuhan memberi ruang bagi keberlanjutan peran Azazil. Ia tidak dimatikan, melainkan diberi mandat baru menjadi penguji bagi manusia.

Dengan begitu, eksistensi Azazil bukan sepenuhnya kutukan. Ia adalah bagian dari keseimbangan kosmik. Ia menjalankan fungsi yang tidak bisa dilakukan malaikat, memperlihatkan kepada manusia sejauh mana cinta mereka kepada Tuhan masih bertahan ketika digoda oleh hal-hal duniawi. Ia menguji bukan karena membenci, melainkan karena itu bagian dari tugasnya.

Iblis sebagai Cermin

Jika malaikat melambangkan ketaatan mutlak, maka Azazil adalah simbol dari kebebasan berpikir yang terbuang. Ia merepresentasikan sisi rasional dari iman, bagian yang bertanya, “Apakah benar ketaatan tanpa pengertian masih layak disebut cinta?” Dan pertanyaan itu tidak pernah sepenuhnya salah.

Azazil, dalam segala keburukannya, sesungguhnya adalah cermin yang paling jujur bagi manusia. Ia memperlihatkan bahwa godaan tidak menciptakan dosa, godaan hanya menyingkapkan siapa kita sebenarnya. Tanpa godaan, iman tidak pernah diuji. Tanpa kehadiran iblis, kesetiaan manusia kepada Tuhan mungkin hanya akan menjadi kebiasaan yang mekanis, bukan pilihan yang sadar. Ia tidak memaksa manusia untuk berdosa. Ia hanya menunjukkan arah yang berlawanan, agar manusia dapat memilih. Dan dalam pilihan itulah letak kehormatan dan kebebasan kita sebagai makhluk berakal.

Ketika Surga dan Neraka Tak Lagi Bermakna

Ada satu gagasan yang sering luput dari tafsir manusia, bahwa Azazil tidak pernah berhenti tunduk kepada Tuhan. Ia jatuh, tapi tidak berpaling. Bahkan dalam kutukannya, ia tetap menjalankan perintah-Nya, menggoda, menguji, mengguncang hati manusia agar terlihat siapa yang benar-benar ikhlas.

Karena itu kisah Azazil mengandung satu pertanyaan paling penting tentang cinta, apakah kita mencintai Tuhan karena Dia layak dicintai, atau karena kita takut kepada murka-Nya dan mendambakan surga-Nya?

Bila cinta itu tulus, maka ia seharusnya tetap ada bahkan ketika semua janji telah tiada, ketika surga terbakar dan neraka padam, ketika pahala dan dosa kehilangan maknanya. Dan di titik itulah, mungkin, Azazil menunggu.  Ia menanti untuk melihat siapa yang tetap bersujud meski tidak ada lagi alasan untuk melakukannya.

Api yang Tak Padam

Api yang disebut sebagai hukuman bagi Azazil bukanlah sekedar nyala yang membakar tubuh, melainkan simbol dari cinta yang tak bisa ia padamkan. Cinta yang tidak bisa kembali ke surga, tapi juga tidak mau memutuskan Tuhan. Api itu adalah bentuk eksistensi pahit, tapi jujur, menyakitkan, tapi setia.

Di antara segala makhluk yang diciptakan, mungkin hanya Azazil yang benar-benar memahami arti konsekuensi, bahwa mencintai berarti juga sanggup kehilangan, bahwa kesetiaan kadang harus berjalan sendirian di luar gerbang surga.

Ia jatuh bukan karena ia berhenti mencintai, melainkan karena ia mencintai dengan cara yang tidak diterima. Dan di situlah, barangkali, terletak kebenaran paling tragis dari kisah manusia dan Tuhan, meski cinta yang paling murni sering tampak seperti dosa.

Kisah Azazil bukan hanya kisah kuno tentang kejatuhan makhluk dari surga, ia adalah metafora yang terus hidup dalam diri manusia. Di zaman ini, banyak yang mengalami bentuk pembuangan serupa, bukan dari surga, melainkan dari lingkaran sosial, komunitas, bahkan keyakinan mereka sendiri, hanya karena berani bertanya dan berpikir di luar garis yang digariskan.

Manusia modern, sering dihadapkan pada dilema antara ketaatan dan kesadaran. Antara menjadi patuh agar diterima, atau jujur pada nurani meski harus tersingkir. Di titik itulah, kisah iblis menjadi cermin yang getir, bahwa tidak semua yang jatuh adalah durhaka, dan tidak semua yang taat benar-benar suci.

Azazil, dalam kejatuhannya, tetap setia menjalankan takdirnya. Sementara manusia, dalam kebebasannya, sering lupa pada janji yang sama. Maka mungkin benar, seperti yang dibisikkan dua iblis di ujung neraka, bentuk cinta paling murni bukanlah mereka yang memuja ketika surga dijanjikan, melainkan mereka yang tetap menyebut nama-Nya bahkan ketika segala yang suci telah runtuh. Dan di antara bara yang tak padam itu, barangkali masih ada satu percikan kecil, kesetiaan yang tak dipahami, tapi tetap menyala.

Komentar

Postingan Populer