KARTINI; Sosok Yang Hilang Dari Sejara
Raden Ajeng Kartini merupakan sosok yang hingga saat ini
terus dikenang sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia. Sayangnya sejarah
tidak selalu mencatat utuh. Dalam narasi yang populer, seringkali Kartini
digambarkan sebagai perempuan Jawa yang lembut, penurut, dan bersahaja.
Padahal, jika kita membaca langsung surat-suratnya, kita akan melihat bahwa
Kartini adalah perempuan yang kritis, tegas, dan cerdas, karakter yang justru ditakuti
oleh struktur sosial kolonial dan adat patriarkal pada masa itu.
Dalam korespondensinya dengan sahabat-sahabat Eropa, Kartini
menunjukkan pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Ia berani mempertanyakan
sistem adat yang mengekang perempuan, mengecam praktik pingitan, serta menolak
posisi perempuan sebagai “warga kelas dua” di dalam rumah maupun masyarakat.
“Kami ingin menjadi manusia sepenuhnya, bukan hanya bayangan
yang tunduk pada aturan yang kami tidak pilih.”
Kalimat seperti ini menunjukkan keberanian dalam menyuarakan
keresahan yang tidak hanya ia rasakan sendiri, tetapi juga dialami oleh ribuan
perempuan lain di Hindia Belanda. Ia tidak sekadar mengeluh, tapi juga
menawarkan solusi melalui perjuangan pendidikan dan kebebasan berpikir.
Meski Kartini memiliki pemikiran yang tajam dan semangat
perubahan, dia dan perempuan-perempuan lain tetap terjerat dalam sistem sosial
yang membelenggu mereka. Sebagai perempuan bangsawan Jawa, Kartini mengalami pingitan
di usia muda dan akhirnya dinikahkan secara paksa dengan seorang bupati yang
jauh lebih tua.
Pernikahan itu menjadi batas nyata yang melemahkan ruang
gerak Kartini. Ia harus menanggalkan sebagian cita-cita intelektualnya meskipun
tetap berusaha mewujudkan sekolah untuk anak perempuan. Sayangnya, tak lama
setelah melahirkan Kartini wafat pada usia 25 tahun, meninggalkan warisan
pemikiran yang tak sempat seluruhnya diwujudkan.
Seiring berjalannya waktu, karakter Kartini perlahan-lahan didekonstruksi
oleh sejarah resmi, khususnya pada masa Orde Baru. Ia diposisikan sebagai figur
yang aman, perempuan Jawa ideal yang patuh, anggun, dan berada di balik
keberhasilan laki-laki. Nilai-nilai pemberontakan dan pemikiran tajamnya yang
ia tinggalkan, disisihkan.
Perayaan Hari Kartini pun lebih banyak diisi dengan lomba
kebaya dan rias wajah, bukan dengan membedah gagasannya tentang pendidikan,
kebebasan, dan keadilan bagi perempuan Indonesia. Ini adalah bentuk bagaimana
sejarah ‘menjinakkan’ perempuan kritis agar tidak mengganggu narasi besar
negara tentang peran perempuan.
Pernyataan ini terasa tepat untuk menggambarkan bukan hanya Kartini, tetapi juga banyak perempuan lain yang memiliki keberanian berpikir di luar batas yang ditetapkan masyarakat. Dunia, lebih tepatnya sistem yang dibangun oleh kekuasaan patriarkal, sering merasa terancam oleh perempuan yang cerdas, vokal, dan berani.
Perempuan cerdas adalah simbol perubahan. Mereka
mempertanyakan norma, menggugat ketidakadilan, dan menolak tunduk begitu saja.
Kartini menunjukkan bahwa kecerdasan perempuan bisa menjadi kekuatan yang
mengguncang tatanan, namun sayangnya, justru karena itulah ia “ditakuti” dan
citranya dikerdilkan.
Kartini merupakan simbol yang masih hidup hingga hari ini. Tetapi untuk benar-benar menghormatinya, kita harus melihatnya sebagai perempuan pemberani yang melawan ketidakadilan, bukan sekadar sosok penurut dalam kebaya. Melalui surat-suratnya, Kartini mewariskan api pemikiran yang tidak seharusnya dipadamkan oleh narasi resmi. Perempuan cerdas bukan ancaman, mereka adalah harapan perubahan nyata atau simbol dari kemajuan dunia.



Komentar
Posting Komentar