KARTINI; Sosok Yang Hilang Dari Sejara

(Andria - Bandung 15.05.2025)

(Raden Ajeng Kartini)

Raden Ajeng Kartini merupakan sosok yang hingga saat ini terus dikenang sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia. Sayangnya sejarah tidak selalu mencatat utuh. Dalam narasi yang populer, seringkali Kartini digambarkan sebagai perempuan Jawa yang lembut, penurut, dan bersahaja. Padahal, jika kita membaca langsung surat-suratnya, kita akan melihat bahwa Kartini adalah perempuan yang kritis, tegas, dan cerdas, karakter yang justru ditakuti oleh struktur sosial kolonial dan adat patriarkal pada masa itu.

Dalam korespondensinya dengan sahabat-sahabat Eropa, Kartini menunjukkan pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Ia berani mempertanyakan sistem adat yang mengekang perempuan, mengecam praktik pingitan, serta menolak posisi perempuan sebagai “warga kelas dua” di dalam rumah maupun masyarakat.

“Kami ingin menjadi manusia sepenuhnya, bukan hanya bayangan yang tunduk pada aturan yang kami tidak pilih.”

Kalimat seperti ini menunjukkan keberanian dalam menyuarakan keresahan yang tidak hanya ia rasakan sendiri, tetapi juga dialami oleh ribuan perempuan lain di Hindia Belanda. Ia tidak sekadar mengeluh, tapi juga menawarkan solusi melalui perjuangan pendidikan dan kebebasan berpikir.

Meski Kartini memiliki pemikiran yang tajam dan semangat perubahan, dia dan perempuan-perempuan lain tetap terjerat dalam sistem sosial yang membelenggu mereka. Sebagai perempuan bangsawan Jawa, Kartini mengalami pingitan di usia muda dan akhirnya dinikahkan secara paksa dengan seorang bupati yang jauh lebih tua.

Pernikahan itu menjadi batas nyata yang melemahkan ruang gerak Kartini. Ia harus menanggalkan sebagian cita-cita intelektualnya meskipun tetap berusaha mewujudkan sekolah untuk anak perempuan. Sayangnya, tak lama setelah melahirkan Kartini wafat pada usia 25 tahun, meninggalkan warisan pemikiran yang tak sempat seluruhnya diwujudkan.

Seiring berjalannya waktu, karakter Kartini perlahan-lahan didekonstruksi oleh sejarah resmi, khususnya pada masa Orde Baru. Ia diposisikan sebagai figur yang aman, perempuan Jawa ideal yang patuh, anggun, dan berada di balik keberhasilan laki-laki. Nilai-nilai pemberontakan dan pemikiran tajamnya yang ia tinggalkan, disisihkan.

Perayaan Hari Kartini pun lebih banyak diisi dengan lomba kebaya dan rias wajah, bukan dengan membedah gagasannya tentang pendidikan, kebebasan, dan keadilan bagi perempuan Indonesia. Ini adalah bentuk bagaimana sejarah ‘menjinakkan’ perempuan kritis agar tidak mengganggu narasi besar negara tentang peran perempuan.

 Pernyataan ini terasa tepat untuk menggambarkan bukan hanya Kartini, tetapi juga banyak perempuan lain yang memiliki keberanian berpikir di luar batas yang ditetapkan masyarakat. Dunia, lebih tepatnya sistem yang dibangun oleh kekuasaan patriarkal, sering merasa terancam oleh perempuan yang cerdas, vokal, dan berani.

Perempuan cerdas adalah simbol perubahan. Mereka mempertanyakan norma, menggugat ketidakadilan, dan menolak tunduk begitu saja. Kartini menunjukkan bahwa kecerdasan perempuan bisa menjadi kekuatan yang mengguncang tatanan, namun sayangnya, justru karena itulah ia “ditakuti” dan citranya dikerdilkan.

Kartini merupakan simbol yang masih hidup hingga hari ini. Tetapi untuk benar-benar menghormatinya, kita harus melihatnya sebagai perempuan pemberani yang melawan ketidakadilan, bukan sekadar sosok penurut dalam kebaya. Melalui surat-suratnya, Kartini mewariskan api pemikiran yang tidak seharusnya dipadamkan oleh narasi resmi. Perempuan cerdas bukan ancaman, mereka adalah harapan perubahan nyata atau simbol dari kemajuan dunia.

Komentar

Postingan Populer