Perempuan Indonesia: Antara Ekspektasi dan Kenyataan
(Andria - Bandung 10.05.2025)
Menjadi perempuan di Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Di balik senyuman dan semangat yang sering ditampilkan ke dunia, banyak perempuan menyimpan beban sosial yang tidak sedikit. Dalam masyarakat yang masih sarat dengan nilai patriarki, perempuan kerap hidup dalam tekanan yang berlapis-lapis, baik dari luar, maupun dari dalam dirinya sendiri.
Salah satu realitas yang
menyakitkan adalah bagaimana perempuan cantik justru bisa menjadi sasaran
kebencian. Penampilan yang menarik kadang menjadi kutukan tersembunyi, karena
membuat mereka dicurigai, dicap sombong, atau dianggap mendapatkan segala
sesuatu dengan mudah. Banyak yang tidak sadar bahwa di balik kecantikan,
perempuan tetap berjuang untuk dihargai karena kualitas dirinya, bukan hanya
wajahnya. Persepsi ini menciptakan tekanan sosial yang menyakitkan, apalagi
ketika kecantikan dijadikan sumber kecemburuan, bukan inspirasi.
Rasa tidak nyaman menjadi
perempuan juga muncul dari sistem sosial yang tidak memberikan perlindungan
yang layak. Banyak perempuan yang tidak merasa aman di ruang publik, baik
karena pelecehan seksual, komentar tidak pantas, maupun perlakuan diskriminatif
yang terjadi hampir setiap hari. Laporan kekerasan terhadap perempuan terus
meningkat, namun penanganannya masih jauh dari ideal. Undang-undang yang ada
memang telah menunjukkan kemajuan, seperti lahirnya UU TPKS, tetapi keberanian
untuk melapor dan kepercayaan terhadap sistem hukum masih menjadi tantangan
besar. Perempuan sering kali justru disalahkan atas kekerasan yang menimpanya.
Dalam kehidupan sehari-hari,
perempuan menghadapi berbagai ekspektasi yang sering kali saling bertentangan.
Mereka dituntut untuk selalu tampil menarik namun tidak terlalu mencolok.
Mereka harus cerdas dan berprestasi, namun tidak boleh mengungguli laki-laki.
Mereka diharapkan menjadi sosok yang lembut, patuh, dan penurut, tapi juga kuat
dan mandiri. Standar sosial ini menciptakan kebingungan identitas yang menguras
energi mental, karena perempuan selalu harus menyesuaikan diri dengan apa yang
diinginkan orang lain, bukan apa yang mereka butuhkan atau inginkan sendiri.
Yang paling terasa memberatkan
adalah realitas beban ganda. Saat ini, banyak perempuan tidak hanya bekerja dan
berkontribusi dalam bidang ekonomi, tetapi juga tetap diposisikan sebagai
penanggung jawab utama urusan rumah tangga. Di satu sisi, mereka harus mencari
nafkah, bersaing di dunia kerja, dan membuktikan diri secara profesional. Namun
ketika pulang, tanggung jawab mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, dan
merawat keluarga tetap dianggap “tugas perempuan”. Tak sedikit yang harus
begadang menyelesaikan pekerjaan rumah setelah jam kerja, tanpa apresiasi atau
bahkan sekadar pengakuan bahwa itu juga adalah sebuah bentuk kerja.
Sayangnya, ketika perempuan tidak
bisa menjalankan semua peran ini secara sempurna, mereka justru disalahkan.
Jika terlalu sibuk bekerja, mereka dianggap mengabaikan keluarga. Jika memilih
tinggal di rumah, mereka dianggap kurang produktif atau sekadar
"mengandalkan suami". Padahal, baik perempuan karier maupun ibu rumah
tangga sama-sama menghadapi tekanan dan tanggung jawab yang besar, hanya dengan
cara yang berbeda.
Meski tantangan yang dihadapi
perempuan begitu besar, harapan tetap tumbuh. Semakin banyak perempuan yang
berani bersuara, membentuk komunitas, dan mengedukasi lingkungan sekitarnya
tentang pentingnya kesetaraan. Kesadaran bahwa sistem yang ada perlu diubah,
bukan perempuan yang harus terus menyesuaikan diri, adalah titik awal dari
gerakan perubahan. Perempuan tidak ingin diistimewakan, mereka hanya ingin
diperlakukan adil.
Perjuangan untuk menjadi perempuan yang utuh di Indonesia masih panjang. Tapi setiap suara yang berani menyampaikan ketidakadilan, setiap langkah kecil menuju kesetaraan, adalah bagian dari proses yang akan mengubah wajah masyarakat. Karena pada akhirnya, kenyamanan, penghargaan, dan keadilan bukanlah kemewahan, tapi hak dasar setiap perempuan, di mana pun mereka berada



Komentar
Posting Komentar